Di tengah menanti kehadiran vaksin, sejumlah negara diketahui menggunakan terapi plasma darah atau konvalesen sebagai langkah sementara yang diharapkan bisa membantu penyembuhan orang sakit dan sekarat akibat Covid-19.
Melansir The Verge, terapi plasma darah konvalesen yang sudah dipakai oleh dunia medis selama seabad itu dilakukan dengan cara menyedot darah dari pasien yang sembuh Covid-19 dan memasukkannya kembali ke orang sakit.
"Saya menganggapnya sebagai jembatan, sampai kita dapat mengembangkan vaksin yang dapat terbukti aman, dan efektif, dan dapat diproduksi dalam jumlah massal," kata Elliott Bennett-Guerrero yang mempelajari penggunaan plasma darah konvalesen pada pasien Covid-19 di Stony Brook Medicine.
Bennett-Guerrero mengatakan darah dari seseorang yang sembuh usai terinfeksi virus corona baru kaya dengan antibodi yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh.
Sehingga, dia berkata pemberian plasma darah yang diresapi antibodi kepada orang yang baru sakit, yang mungkin belum memiliki antibodi diharapkan dapat membantu penyembuhan menjadi lebih cepat.Bennett-Guerrero berkata plasma darah konvalesen dapat meningkatkan kemampuan tubuh yang luar biasa untuk mengembangkan antibodi dan kekebalan terhadap patogen.
"Kami mentransfer faktor-faktor pelindung itu lewat darah kepada orang-orang yang sakit dan belum mampu meningkatkan kekebalan tubuhnya," ujar Bennett-Guerrero.
Terapi plasma darah konvalesen diketahui telah digunakan sebagai pengobatan sejak tahun 1890-an, yakni ketika darah dari korban sembuh diberikan kepada pasien difteri.
Studi selama pandemi flu tahun 1918 juga menunjukkan bahwa terapi itu adalah pengobatan yang efektif. Bahkan, terapi itu digunakan untuk mengelola puluhan penyakit pada abad itu, misalnya campak dan cacar air.
Data awal pada segelintir pasien di China menunjukkan bahwa mereka menjadi lebih baik setelah menerima infus plasma darah dari pasien sembuh. Namun, data itu masih belum cukup untuk mengatakan dengan pasti bahwa plasma darah berhasil mengobati pasien Covid-19.Para peneliti di AS menjalankan studi terkontrol untuk melihat apakah pasien yang menerima plasma meningkat lebih cepat daripada pasien yang tidak. Direktur medis di Pusat Medis Universitas Nebraska Scott Koepsell mengatakan transfusi plasma masih merupakan pilihan terakhir pengobatan Covid-19.
"Ini adalah teknik lama. Ini pendekatan yang sangat bermaksud baik, tetapi memiliki banyak variabilitas dan keterbatasan," ujar Koepsell yang telah mengumpulkan plasma darah dari para penyintas Ebola.
Dia mencontohkan setiap orang yang sembuh dari infeksi akan memiliki campuran zat kekebalan yang sedikit berbeda dalam plasma darah mereka. Sehingga, setiap orang yang sakit yang diobati dengan plasma darah mendapatkan perawatan yang sedikit berbeda.
Keadaan itu dapat membuat para peneliti sangat sulit untuk mengetahui apakah terapi plasma darah umumnya efektif atau tidak efektif. Terapi juga tergantung pada apakah pasien mendapatkan batch plasma yang benar-benar baik atau buruk.
Peneliti medis sedang mencoba untuk mengatasi masalah itu dengan hanya memungkinkan para penyintas dengan tingkat antibodi yang tinggi untuk menyumbangkan plasma darah, tetapi plasma darah masih akan bervariasi dari donor ke donor.
Risiko dan Etika Terapi Plasma DarahSelain ketidakpastian umum tentang seberapa baik transfusi ini akan bekerja, ada juga risiko untuk transfusi plasma darah. Misalnya, efek samping yang serius seperti cedera paru-paru dan reaksi alergi.
Kendati demikian, Koepsell mengatakan Ebola berbeda dengan Covid-19. Pada pasien Ebola, plasma dapat membantu mencegah perdarahan berbahaya yang disebabkan oleh virus. Dalam setiap wabah, plasma darah konvalesen memiliki satu sisi positif, yakni tersedia segera setelah seseorang sembuh.
Meski terapi plasma darah menjadi opsi, Koepsell berkata obat yang terstandarisasi khusus untuk penyakit Covid-19 merupakan pilihan utama dan harus tersedia dalam waktu cepat. Selain itu, kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi pandemi merupakan hal penting di kemudian hari.
"Semoga pemerintah dan lembaga menyadari bahwa pandemi bisa datang dengan frekuensi yang lebih banyak. Saya ingin menghindari pengumpulan darah dan mentransfusikannya setiap kali ada penyakit baru," ujar Koepsell.
Dalam publikasi di laman resmi WHO, Badan Kesehatan Dunia itu mengatakan badan pengawas harus mempertimbangkan terlebih dahulu masalah sumber daya etis, ilmiah, dan logistik yang perlu ditangani untuk mengevaluasi dan menerapkan terapi plasma darah konvalesen .
Terapi plasma konvalesen tidak boleh dilakukan hanya tas dasar vaksin dan obat antivirus yang efektif tidak tersedia. WHO menilai tindakan yang tidak terkendali seperti itu dapat membahayakan kemanjuran dan keamanan, serta dokumentasi dan evaluasi ilmiah.
WHO menyampaikan penggunaan klinis plasma darah atau serum konvalesen harus dianggap sebagai pemeriksaan penunjang. Karena keamanan dan kemanjuran plasma darah atau serum konvalesen tidak terbukti dalam pengaturan epidemi baru.WHO mengimbau standar untuk pembuatan produk plasma harus memaksimalkan keselamatan donor dan penerima.
WHO meminta pengumpulan dan persiapan harus dilakukan oleh staf terlatih yang beroperasi di bawah prosedur operasi standar di fasilitas yang punya regulasi ketat dan bersertifikat, serta secara rutin terlibat dalam pengumpulan darah dan plasma dan persiapan sesuai dengan pedoman internasional.
Pedoman pemberian dosis, kata WHO, harus disediakan dan pertimbangan harus diberikan untuk penggunaan unit dari setidaknya dua donor yang berbeda dalam pengakuan variasi biologis dalam respon imun.
Terapi kekebalan pasif umumnya lebih efektif bila diberikan lebih awal dalam perjalanan penyakit dan dapat diberikan dengan dosis lebih rendah. Namun, WHO menegaskan tidak mengetahui apakah pengobatan dini atau lambat pada pasien akan sama efektifnya.
Seperti terapi plasma darah lainnya, WHO berkata perhatian harus diberikan untuk inkompatibilitas ABO . Inkompatibilitas ABO tidak akan menjadi perhatian utama untuk produk imunoglobulin murni yang dibuat dari kolam plasma besar.
Inkompatibilitas ABO sendiri adalah kondisi yang muncul karena pasien menerima darah yang berbeda dengan golongan darahnya. Hal itu memicu reaksi sistem kekebalan tubuh yang dapat menimbulkan beragam gejala, di antaranya adalah ikterus (penyakit kuning), pusing, dan sesak napas.
Antibodi terhadap antigen leukosit, seperti yang sering dikembangkan oleh wanita selama kehamilan dapat menimbulkan penyakit paru-paru parah yang disebut Transfusion Related Acute Cedera Paru (TRALI). Penyakit itu merupakan sindrom langka yang terjadi dalam waktu 6 jam setelah transfusi plasma darah.
Lebih dari itu, WHO menyampaikan studi ilmiah tentang kelayakan dan efektivitas medis untuk pengumpulan dan penggunaan plasma darah atau serum yang sembuh harus dieksplorasi melalui uji klinis yang dapat dilakukan bersamaan dengan penggunaan empiris mereka.
(jps/DAL)Kesehatan - Terbaru - Google Berita
April 29, 2020 at 03:10PM
https://ift.tt/3aJdysd
Plus Minus Terapi Plasma Darah Obati Pasien Corona Teknologi • 29 April 2020 15:10 - CNN Indonesia
Kesehatan - Terbaru - Google Berita
https://ift.tt/2zZ7Xy3
Bagikan Berita Ini
Kalah terus main di tempat lain?
ReplyDeletemari coba disini a+j+o+q+q (+855969190856)
Sedia deposit pulsa juga (min 20rb)
dewa kemenangan hanya ada di dewalotto dengan peluang menang dan beragam jenis permainan mendorong anda supaya bisa memainkan permainan kami
ReplyDeleteyuk silahkan kunjungin ya hnya di dewalotto :)
ADD WA +855 888765575 Terima Kasih admint...:)