Search

Perubahan Perilaku Nyamuk Demam Berdarah Terkait Iklim dan Lingkungan Picu Peningkatan Kasus. Seperti Apa? - Mongabay.co.id

  • Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit berbasis lingkungan dimana penyakit ini ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan banyak ditemukan saat musim hujan karena nyamuk akan menetaskan telurnya di air.
  • Perubahan iklim seperti hujan yang diselingi panas hingga beberapa hari membuat nyamuk Aedes aegypti leluasa berkembangbiak karena nyamuk ini suka hidup pada daerah dengan kelembaban tinggi dan cuaca yang cukup hangat
  • Ada perubahan perilaku nyamuk Aedes aegypti yang dahulunya menggigit hanya pagi dan sore hari kini bisa menggigit saat malam hari hingga subuh serta berkembangbiak diatas ketinggian 1.000 mdpl yang sebelumnya tidak pernah terjadi
  • Cara efektif dalam memberantas penyakit ini hanya dengan menjaga kebersihan lingkungan melalui gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk dan pembersihan massal sebab nyamuk Aedes aegypti juga kini sudah hidup di luar rumah atau di luar ruangan

 

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) kian mengganas di Nusa Tenggara Timur (NTT) terutama kabupaten Sikka. Tercatat hingga akhir Februari 2020, ada 984 kasus serta 11 korban anak-anak di Sikka.

Kenapa kasus DBD meningkat drastis? Data tahun 2019, DBD di Sikka sebanyak 620 kasus dengan 13 korban jiwa. Kasus tertinggi sebelumnya terjadi tahun 2010 sebanyak 861 kasus dan 10 orang meninggal dunia.

“Sehebat apapun dokter di rumah sakit, seluas apapun rumah sakit kalau tidak diperhatikan sumber penularannya maka demam berdarah tidak akan selesai,” kata Acep Effendi, Entomolog Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi NTT saat ditemui Mongabay Indonesia, Jumat (28/2/2020).

Akademisi di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang ini mengatakan, saat bersama tim Kementerian Kesehatan RI turun melakukan monitoring dan penelitian di lingkungan RS TC Hillers, Kota Maumere dan beberapa Puskesmas, di dalam ruangan tidak ditemukan satu jentik pun.

Tapi ketika di luar ruangan, di beberapa tempat air tergenang baik di pagar, terpal serta kaleng dan botol minuman, banyak ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti.

baca : Bagaimana Jika Nyamuk Punah dari Planet Bumi? Apa yang akan Terjadi?

Pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dirawat di ruangan UGD RS TC Hillers, Kota Maumere, Sikka, NTT mengalami lonjakan sehingga dilakukan penambahan tempat tidur. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Perubahan Perilaku

Banyaknya jentik nyamuk Aedes aegypti yang berkembangbiak di luar ruangan mematahkan teori selama ini bahwa nyamuk ini suka di tempat bersih dan berada di dalam rumah.

Teorinya, kata Acep, dahulu nyamuk Aedes aegypti biasa hidup di dalam rumah, sementara Aedes albopictus biasa hidup di luar rumah. “Tapi nyamuk itu sekarang sudah pintar. Manusia mengusir dia supaya jangan di rumah dan supaya eksis nyamuk tersebut beradaptasi dengan lingkungan dan hidup di luar rumah,” terangnya.

Penelitiannya bersama tim Kemenkes di Sikka selama bulan Februari 2020 ditemukan 90% nyamuk Aedes Aegypti  hidup di luar rumah. Misalnya di tempat pembuangan sampah, di terpal yang ada air tergenang dan di wadah lainnya tempat air tergenang.

“Nyamuk Aedes aegypti sekarang ini bersembunyi di luar rumah, di tempat-tempat yang tidak dilihat manusia. Hubungan dengan sampah erat sekali,” katanya.

Nyamuk Aedes aegypti  merupakan jenis transovarial, sebut Acep, yaitu menurunkan virus ke generasi berikutnya dalam perkembangbiakannya.

Nyamuk DBD yang menggigit manusia hanya nyamuk betina karena mengambil darah untuk mematangkan sel telur dalam perutnya.

Nyamuk demam berdarah dewasa juga, kata Acep sangat  menyukai rumput berketinggian 40 cm sebagai tempat istirahat dan sembunyi.

“Makanya kalau fogging, jangan hanya di dalam rumah tetapi juga di luar rumah. Fogging bukan menyelesaikan populasi nyamuk sebab hanya mematikan nyamuk dewasa yang padahal dia kan sudah mengeluarkan 100-300 butir telur,” ungkapnya.

Fogging memang perlu dilakukan, tegas Acep, saat ditemukan kasus DBD. Tetapi fogging hanya mematikan nyamuk dewasa, sehingga perlu gerakan membunuh jentik-jentiknya untuk memutus populasi nyamuk Aedes aegypti.

baca juga : Nyamuk Wolbachia, Harapan Baru Atasi Demam Berdarah

Nyamuk Aedes_aegypti vektor pembawa virus penyebab penyakit demam berdarah dengue. Foto : James Gathany/Wikimedia

 

Perubahan Tempat Hidup dan Perilaku

Sebagian wilayah Kabupaten Sikka pada Januari hingga Februari curah hujannya tinggi antara 151-300 mm, dengan kelembaban diatas 80% dan suhu berkisar antara 24-300 celcius.

Perubahan iklim dan curah hujan, kata Acep, turut berperan besar dalam meningkatnya populasi nyamuk demam berdarah. Nyamuk sangat peka terhadap cuaca dan iklim.

“Nyamuk Aedes aegypti berkembang optimal pada suhu 25-300 celcius. Kebetulan cuaca di Sikka cukup hangat dan cocok untuk berkembangbiak,” jelasnya.

Hujan sehari terus panas minimal 3 hari bahkan seminggu membuat nyamuk leluasa berkembangbiak. Hujan tidak merata dan suhu meningkat, sebut Acep akan mempercepat hidup nyamuk DBD.

Teorinya nyamuk DBD tidak bisa hidup didaerah berketinggian diatas 1.000 mdpl. Ternyata di Bajawa dengan ketinggian 1.547 mdpl dan Ruteng 1.177 mdpl terdapat kasus DBD. Acep pernah melakukan survey entomologi tahun 2006 di Bajawa dan menemukan nyamuk Aedes aegypti dan ditemukan kasus DBD tahun 2007.

“NTT tahun 2010 baru 8 kabupaten kota yang terjangkit DBD. Seiring perilaku nyamuk dan pola hidup manusia, saat ini  seluruh 22 kabupaten dan kota sudah terjangkit  demam berdarah,” terangnya.

Dari hasil penelitiannya di Pulau Timor pada 2016, Acep juga menemukan perubahan perilaku menggigit nyamuk DPBD yaitu tidak hanya pagi, siang dan sore hari seperti pada umumnya, tetapi juga sampai malam hari atau berarti menggigit sepanjang hari.

menarik dibaca : Mengenal Nyamuk, dari Pembawa Petaka hingga Pengendali

 

Rutin dan Massal

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan RI dr. Siti Nadia Tarmizi kepada Mongabay Indonesia Senin (24/2/2020) mengatakan, terjadinya peningkatan kasus DBD pada suatu daerah dipengaruhi oleh tiga hal yaitu lingkungan, virusnya dan hostnya sendiri.

Pada 2019, ada 620 kasus DBD di Kabupaten Sikka. Dikatakannya, setiap tahun selama 5 tahun belakangan kasusnya memang tinggi.

Faktor utamanya, banyaknya tempat perkembangbiakan nyamuk  sehingga populasi Aedes aegypti bertambah saat musim hujan.

“Faktor iklim juga berpengaruh kepada  siklus nyamuk dan jentik. Pengelolaan lingkungan yang belum optimal terutama pengelolaan sampah juga berperan dalam pengebangbiakan nyamuk,” ungkapnya.

Saat ini dimana jumlah kasus DBD sudah sangat meningkat, Nadia menyarankan dua hal utama yaitu penanganan pasien yang cepat dan pengendalian vektor nyamuknya melalui pemberantasan sarang nyamuk secara masal dan serentak.

Pembersihan lingkungan pesannya rutin dilakukan terutama di daerah yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Pihaknya melihat penularan DBD di Sikka memang terjadi di dalam dan di luar rumah,  sehingga upaya pencegahan dilakukan di kedua wilayah ini.

Nadia tekankan, virus ini  ada di alam dimana selama vektor nya masih ada maka siklus kehidupannya tetap ada. Melihat gambaran penderita yang sebagian besar anak-anak, berarti penularan DBD juga terjadi di sekolah-sekolah.

“PSN harus dilakukan serentak dan massal dan butuh semua lintas sektor termasuk masyarakat  untuk melaksanakannya,” tegasnya.

Air dan sampah plastik yang tergenang di saluran air di ujung monumen tsunami kota Maumere kabupaten Sikka provinsi NTT yang belum pernah dibersihkan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

Minim Kesadaran Kebersihan

Direktur Bank Sampah Flores Wenefrida Efodia Susilowati membenarkan minimnya kesadaran masyarakat soal kebersihan lingkungan saat berbincang bersama Mongabay Indonesia, Sabtu (23/2/2020).

Menurut Susi sapaannya, sampah plastik seperti gelas dan botol kemasan masih banyak ditemukan berserakan di jalan, di saluran air di kota Maumere serta di kali mati dan pesisir pantai.

“Kesadaran akan kebersihan masih minim. Yang parah, sampah plastik seperti botol dan gelas plastik bekas minuman masih berserakan dimana-mana. Penyakit berbasis lingkungan pasti selalu meningkat selama masyarakat belum sadar soal kebersihan,” sesalnya.

Alexius Amanjaya, Kordinator Program Yayasan Sosial Pembangunan Masyarakat (Yaspem) kepada Mongabay Indonesia, Selasa (25/2/2020) mengatakan perkembangbiakannya nyamuk diputus saat masih jentik.

Yaspem telah melatih juru pemantau jentik (jumantik) atau Kader Jentik di 126 desa/kelurahan dari 160 desa/kelurahan. Pelatihan tersebut kata Alex dilakukan tahun 2018 dimana satu desa ada 3 Kader Jentik.

“Dulu tahun 2014 kita punya laskar jentik yang ada di sekolah-sekolah. Tinggal saja diaktifkan kembali karena cara efektif mencegah DBD hanya dengan memberantas jentiknya,” tegasnya.

“Putuskan mata rantai dengan fogging, dilanjutkan dengan pemberantasan sarang nyamuk. Karena ini penyakit berbasis lingkungan maka kebersihan harus terjaga,” tambahnya.

Let's block ads! (Why?)



Kesehatan - Terbaru - Google Berita
March 02, 2020 at 11:23AM
https://ift.tt/2Tyx3gi

Perubahan Perilaku Nyamuk Demam Berdarah Terkait Iklim dan Lingkungan Picu Peningkatan Kasus. Seperti Apa? - Mongabay.co.id
Kesehatan - Terbaru - Google Berita
https://ift.tt/2zZ7Xy3

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Perubahan Perilaku Nyamuk Demam Berdarah Terkait Iklim dan Lingkungan Picu Peningkatan Kasus. Seperti Apa? - Mongabay.co.id"

Post a Comment

Powered by Blogger.