Bisnis.com, JAKARTA -- Vape alias personal vaporizer alias vapor menjadi perhatian dunia setelah sejumlah penggunanya di AS meninggal dunia.
Dalam beberapa bulan terakhir, terungkap sekitar 1.300 kasus penyakit paru-paru dan 29 orang korban meninggal. Beberapa ciri-ciri yang dialami korban yakni kesulitan bernafas, batuk, muntah, dan diare.
Hal ini lantas membuat Negeri Paman Sam mengeluarkan larangan terhadap vape berperisa, yang kemudian diikuti oleh sejumlah negara lain.
Setidaknya ada 42 negara yang melarang dan membatasi peredaran vape seperti Australia, Finlandia, Uni Emirat Arab (UEA), Brasil, Uruguay, Turki, dan India. Aturan ini dibarengi ancaman hukuman penjara dan denda yang setara hingga puluhan juta rupiah, seperti dilakukan Singapura, Thailand, serta Hong Kong.
Di Indonesia, pendapat tentang vape terbagi dua. Sebagian kalangan menilai vape yang beredar di Indonesia aman dan bahwa produk yang beredar di AS berisi campuran minyak ganja (tetrahydrocannabinol/THC) yang dimasukkan secara ilegal.
Produk vape berperisa dijual di salah satu gerai Sunny Vapes di AS./USA Today via Reuters
“Perlu diperhatikan dengan baik bahwa kasus yang terjadi di AS disebabkan oleh konsumsi THC Oil yang menggunakan vape sebagai alat bantu, bukan oleh konsumsi cairan bernikotin yang umumnya digunakan oleh pengguna vape,” kata Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita kepada Bisnis, Selasa (15/10/20109).
Dia melanjutkan sejauh ini, vape yang digunakan dengan cara yang benar belum pernah terbukti membahayakan kesehatan. Cairan vape yang berpita cukai diklaim aman bagi kesehatan dan terhindar dari zat-zat berbahaya seperti narkoba.
Sementara itu, kalangan lainnya memandang rokok elektrik dan vape memiliki risiko kesehatan yang sama dengan rokok konvensional. Alasannya, tidak ada standardisasi mutu bahan-bahan aktif yang digunakan.
“Dalam kesehatan, kalau ada rangsangan [terhadap] suatu organ terus menerus, itu enggak baik. Dengan vape ini kan saluran napas diasapi, itu sudah pasti tidak baik, apalagi kita tidak tahu apa saja bahan isiannya,” tutur Dokter Spesialis Paru dari RS Persahabatan serta pengurus Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Elisna Syahruddin.
Pengurus Yayasan Kanker Indonesia itu menyatakan kendati belum ada laporan penyakit akut akibat vape, penggunaan vape secara kontinyu berpotensi menyebabkan penyakit kronis. Apalagi, lanjutnya, isi vape juga tak terjamin sesuai dengan apa yang disebutkan.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Anung Sugihantono menyatakan dampak vape terhadap kesehatan berkaitan erat dengan pajanan (eksposur) terhadap kandungan dalam cairannya.
Secara umum, cairan vape mengandung nikotin, propylene glycol, glycerin, air, dan perisa. Larutan ini disebut juga e-juice atau e-liquid karena rasanya yang bervariasi seperti buah-buahan, mint, kopi, permen, dan lain-lain.
Namun, komposisi larutan dalam cairan dan uapnya berbeda-beda. Bahkan, kandungan nikotin yang tertera di label dan kondisi disebut seringkali tidak akurat.
Mengutip sebuah studi di Prancis, Anung menyebutkan dari 20 uji sampel yang dilakukan ditemukan kandungan nikotin yang sebenarnya lebih tinggi dari yang tercantum di label, bahkan ada yang 2-5 kali lebih besar.
Dia menerangkan nikotin merupakan senyawa bersifat toksik yang kuat dan kompleks. Dampak keracunan akut antara lain mual, muntah, hingga kematian.
Nikotin juga berefek buruk pada proses reproduksi dan perkembangan janin. Efek kronisnya antara lain kanker paru-paru, emfisema, hingga penyakit jantung.
Bahan kimia propylene glycol dan vegetable glycerin (PG/G) juga tak kalah berbahaya. PG/G dalam vape berfungsi sebagai alat angkut nikotin dan perisa serta membuat uap.
Paparan asap buatan hasil pemanasan PG/G dapat memicu penyakit akut dan kronis yang berkaitan dengan pernapasan serta nyeri otot dan sakit tenggorokan.
Kandungan perisanya juga disebut belum teruji karena dikonsumsi melalui proses pemanasan dan penguapan, kemudian diinhalasi ke paru-paru.
“Studi menunjukkan senyawa yang aman dikonsumsi secara langsung tidak otomatis juga aman ketika diinhalasi, contohnya Diacetyl. Walaupun aman untuk dikonsumsi langsung sebagai flavoring dalam mentega, tapi ketika diinhalasi berpotensi menyebabkan penyakit hati yang sangat serius,” jelas Anung.
Vape dan Generasi Muda
Vape diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar 5-6 tahun lalu dan penggunanya terus tumbuh secara signifikan. APVI memperkirakan saat ini, pengguna rokok elektrik sedikitnya ada 2 juta orang.
Adopsi vape menjadi sebuah gaya hidup bisa dibilang cukup mulus lantaran berbagai faktor.
Pertama, kampanye yang dilakukan pelaku industri dan organisasi pendukungnya. Misalnya, vape dijadikan sebagai alternatif bagi para perokok konvensional untuk mengatasi adiksi terhadap rokok.
Kedua, kemudahan dalam mengakses vape. Produk ini cukup mudah diakses oleh siapa saja dan di mana saja, baik di kedai-kedai ritel maupun secara online.
Ketiga, tidak ada batasan ketat dalam peredaran vape, mulai dari lokasi penjualan, batas usia minimum pembeli, maupun lokasi penggunaan. Hal ini membuat anak-anak usia sekolah bisa dengan mudah mendapatkannya.
Mengutip Riset Kesehatan Dasar 2018, Anung mengemukakan proporsi rokok elektrik yang dihisap penduduk umur di atas 10 tahun di Indonesia sebanyak 2,8 persen. Berdasarkan pekerjaan, angka terbanyak ada di kelompok sekolah dengan 12,1 persen.
Sejumlah pelajar membentangkan spanduk saat Deklarasi Generasi Bebas Tanpa Rokok di Taman Sempur, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (21/9/2019)./ANTARA FOTO-Arif Firmansyah
Penggunaannya di kalangan remaja pun menjadi perhatian pemerintah karena dampaknya terhadap risiko kesehatan generasi penerus.
“Harus dilarang. Tidak ada jalan lain, vape harus di-banned. Masa kita mau menunggu ada bencana kesehatan dulu seperti di AS, masa kita di belakang Timor Leste yang sudah lebih dulu melarangnya?” ucap Elisna.
Pemerintah pun diminta untuk tidak hanya memandang risiko kesehatan dari sudut pandang ekonomi karena kerugiannya jauh lebih besar dari itu.
Adapun APVI mengaku telah menyampaikan kepada pemerintah untuk mengatur izin penjualan vape di toko pengecer agar tidak dikonsumsi anak di bawah umur.
“Kami berusaha memberikan pesan kepada pemerintah, bahwa kami pun peduli dan sangat setuju untuk menghindari penjualan ke underage. Selama ini, kami selalu menegaskan kepada seluruh member kami bahwa vape hanya untuk 18 tahun ke atas dan ini juga kami sampaikan ke masyarakat,” tegas Garindra.
Dia menilai upaya meregulasi atau melisensi tempat lokasi penjualan produk akan lebih efektif. Peningkatan harga jual ataupun pelarangan dianggap tidak menjamin suatu produk aman dari penjualan ke kelompok di bawah umur.
Lebih Mementingkan Cukai?
Pemerintah Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda akan mengambil langkah konkret untuk melarang maupun mengendalikan peredaran rokok elektrik.
Pada 7 November 2017, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengirimkan surat kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) dengan rekomendasi untuk melarang peredaran rokok elektrik dengan pertimbangan adanya dampak negatif kepada masyarakat, khususnya generasi muda.
Lantas, pada 10 November 2017, Kemendag menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 86 Tahun 2017 yang mengatur impor rokok elektronik dan menetapkan persyaratan izin impor, salah satunya rekomendasi dari BPOM.
Namun, 10 hari kemudian, terbit surat penundaan pemberlakuan Permendag tersebut oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian.
Meski saat ini aturan terkait tarif cukai rokok dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 sudah direvisi lewat PMK Nomor 152 Tahun 2019, tapi pengaturan atas liquid vape sebagai objek cukai tidak mengalami perubahan.
Penjual melayani pembeli rokok di Jakarta, Rabu (19/9/2018)./ANTARA FOTO-Muhammad Adimaja
Mengacu ke UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, tarif cukai untuk rokok elektrik dan Hasil Produk Tembakau Lainnya (HPTL) adalah sebesar 57 persen, yang merupakan tarif tertinggi.
Menurut Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nirwala Dwi Heryanto, rokok elektrik masuk dalam kategori HTPL, tepatnya berupa ekstrak dan esens tembakau.
Rokok elektrik menjadi objek cukai karena memenuhi empat kriteria Barang Kena Cukai (BKC) yaitu konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, konsumsinya menimbulkan dampak negatif, serta perlunya pungutan negara untuk menjamin rasa keadilan dan keseimbangan.
Selain itu, pengenaan cukai dilakukan dengan tujuan untuk melakukan pemetaan dan pengawasan.
“Namun, untuk mengizinkan peredaran dan melarang peredaran rokok elektrik, bukan kewenangan Kemenkeu,” ujarnya.
Penerapan cukai yang tinggi tak menjamin peredaran rokok elektrik benar-benar aman. Faktanya, banyak ditemukan cairan vape yang tidak bercukai dan dijual secara online.
Nirwala menegaskan pihaknya telah melakukan penindakan terhadap pengusaha dan importir HPTL yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan produk tak berpita cukai. Per 15 Oktober 2019, DJBC melakukan 238 penindakan yang setara dengan 880,06 liter atau senilai Rp1,23 miliar.
Hingga September 2019, penerimaan cukai produk tembakau lainnya mencapai Rp300 miliar. APVI memproyeksi potensinya pendapatan cukai mencapai Rp2 triliun pada 2019.
Menurut catatan DJBC, sampai saat ini, terdapat 284 pengusaha pabrik dan importir HPTL di Indonesia.
Petugas Bea Cukai menunjukkan cairan liquid vape barang bukti hasil penindakan barang kena cukai di Kantor Ditjen Bea Cukai, Rawamangun, Jakarta, Jumat (25/10/2019)./ANTARA FOTO-Aprillio Akbar
Namun, penarikan cukai juga menjadi faktor yang membuat pemerintah sulit membatasi impor. Ketiadaan regulasi soal izin edar, aspek keamanan, dan mutu dari bahan aktif rokok elektrik juga membuat BPOM dan Kemenkes tidak bisa ikut melakukan pengawasan.
Anung menyampaikan Kemenkes sedang berusaha membangun ekosistem pencegahan rokok elektrik dan memasukkan vape sebagai kategori produk tembakau dan turunannya dalam usulan revisi PP 109/2012 tentang produk tembakau.
Pihaknya juga memberikan edukasi dan memperbanyak kawasan tanpa rokok serta vape dengan mulai melibatkan kawasan kampus. Dia menyinggung alkohol yang juga dinyatakan berbahaya dari sisi kesehatan tapi tetap beredar dengan pengendalian dari pemerintah.
“Untuk menjadikan tidak ada konsumsi, caranya dengan mengurangi kemudahan untuk mendapatkan. Jadi, kami mendorong agar tempat penjualan dibatasi, harganya dinaikkan setinggi-tingginya, serta perlu ada restriksi di daerah-daerah tertentu,” terang Anung.
Kesehatan - Terkini - Google Berita
October 28, 2019 at 10:15AM
https://ift.tt/36aNHIE
'Menyaring' Asap Rokok dan Vape - Bisnis.com
Kesehatan - Terkini - Google Berita
https://ift.tt/2zZ7Xy3
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Menyaring' Asap Rokok dan Vape - Bisnis.com"
Post a Comment