7 minute read
Pemerintah Indonesia menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen pada tahun 2020. Selain untuk meningkatkan pendapatan, ini juga merupakan upaya dalam menurunkan konsumsi rokok. Akan tetapi, di balik usaha itu, terdapat bayang-bayang kepentingan farmasi dalam upayanya untuk menjual obat berhenti merokok yang telah sukses di Amerika Serikat.
PinterPolitik.com
Indonesia merupakan negara ketiga dengan konsumsi rokok terbesar di dunia dengan prevalensi 29 persen. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 memperlihatkan jumlah perokok di Indonesia terus mengalami kenaikan tiap tahunnya.
Secara ekonomi, kenaikan jumlah perokok ini memiliki dampak yang buruk karena negara harus menyiapkan dana preventif terkait penyakit-penyakit kronis yang disebabkan oleh rokok.
Staf Ahli Menteri bidang Hukum Kesehatan, Tritarayati mengungkapkan bahwa beban biaya – khususnya penyakit tidak menular akibat paparan asap rokok – menyedot lebih dari 70 persen dana yang dikelola Badan Jaminan Kesejahteraan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Di sisi lain, rokok juga menjadi faktor utama penyumbang kemiskinan. Hal ini karena harga rokok yang terus naik setiap tahun berkonsekuensi pada bertambahnya beban belanja para konsumennya.
Sebagai upaya untuk menurunkan konsumsi rokok, pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen pada tahun 2020. Hal ini selaras dengan laporan yang dikeluarkan Bank Dunia yang berjudul Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control, yang menyatakan bahwa kebijakan menaikkan harga rokok melalui penaikan cukai merupakan strategi utama yang harus dilakukan untuk menurunkan konsumsi tembakau.
Tidak hanya diuntungkan secara ekonomi melalui target penerimaan pajak sebesar Rp 180,5 triliun pada tahun 2020, Indonesia juga diuntungkan secara politik karena dapat mengeratkan hubungannya dengan Bank Dunia terkait implementasi strategi penurunan konsumsi tembakau.
Rekomendasi peningkatan cukai rokok tidak hanya direkomendasikan oleh Bank Dunia, melainkan juga menjadi rekomendasi dar International Monetary Fund (IMF) dan World Health Organization (WHO) memperlihatkan kebijakan ini sebenarnya sarat akan kepentingan politis.
Yang menjadi perdebatan adalah adanya dugaan bahwa di balik rekomendasi untuk menurunkan konsumsi rokok ternyata penyimpan agenda politik tersendiri dari industri farmasi guna untuk menjual obat berhenti merokok. Hal ini berkaitan dengan kampanye anti-rokok yang terjadi di beberapa negara, yang justru menguntungkan pelaku di industri farmasi.
Pertanyaannya adalah, apakah dugaan tersebut hanya sebatas teori konspirasi, ataukah dapat dibuktikan dengan data, serta mungkinkah terjadi di Indonesia?
Intervensi Farmasi dalam Kampanye Anti-Rokok?
Setelah sebelumnya dikategorikan sebagai kebiasaan (habituating), untuk pertama kalinya pada tahun 1988, Surgeon General US dalam dokumen yang berjudul The Health Consequences of Smoking: Nicotine Addiction mengkategorikan nikotin sebagai zat adiktif.
Menariknya, di dalam dokumen tersebut, Surgeon General US merekomendasikan salah satu pengobatan untuk berhenti merokok, yaitu menggunakan nicotine polacrilex atau nicotine resin complex, yang umumnya disebut nicotine gum atau permen karet nikotin sebagai pengganti nikotin dalam rokok.
Yang lebih menarik lagi adalah pada tahun 2000, empat perusahaan farmasi besar, yaitu Glaxo Wellcome, Novartis, Pharmacia dan SmithKline Beecham, yang semuanya ternyata memproduksi dan/atau memasarkan produk-produk “pengganti nikotin” atau penghenti merokok lainnya, mendanai sebagian besar anggaran World Conference on Tobacco ke-11 di Chicago.
Seperti yang dapat ditebak, perusahaan-perusahaan farmasi di dalam konferensi tersebut mendukung penerapan Nicotine Replacement Therapy (NRT) yang merupakan terapi penggantian nikotin. Bagaimana tidak, NRT adalah barang dagangan mereka.
Rangkaian usaha untuk menurunkan konsumsi rokok benar-benar membuahkan hasil. Di Amerika Serikat misalnya, pada tahun 2000, konsumsi rokok anjlok hingga 2.092 batang per orang per tahun. Pada 2016 jumlahnya kembali telah turun menjadi 1.691 batang rokok per orang per tahun.
Tidak hanya konsumsi rokok, kampanye anti-rokok juga berdampak pada penjualan obat berhenti merokok, yang pada tahun 2000 nilainya mencapai US$ 700 juta atau Rp 9,8 triliun dalam kurs sekarang.
Bahkan pada tahun 2007, Chantix yang merupakan obat berhenti merokok yang diproduksi oleh Pfizer – perusaaan farmasi asal Amerika Serikat – terjual senilai US$ 883 juta atau sekitar Rp 12,4 triliun.
Melacak sejarah, ternyata pada akhir tahun 1990, Pfizer dan Glaxo membiayai secara penuh anggota WHO agar membentuk WHO Tobacco Free Initiative (TFI). Dan pada tahun 1998, Pharmacia Upjohn, Novartis, dan Glaxo-Wellcome – yang semuanya adalah perusahaan farmasi – menjadi sponsor terbentuknya WHO TFI tersebut.
Sponsor itu bukan tanpa alasan yang jelas ataupun hanya sebatas kedermawanan semata, melainkan karena ketiga perusahaan farmasi itu memasarkan produk produk-produk NRT. Dengan kata lain, mereka akan memiliki akses langsung untuk merekomendasikan produknya kepada TFI, bahkan dapat melakukan intervensi agar NRT menjadi rekomendasi untuk menurunkan konsumsi rokok.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pengaturan mengenai pajak atas tembakau sebenarnya bukan barang baru. Adam Smith dalam bukunya berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) telah membahas mengenai penggunaan pajak tembakau sebagai instrumen kebijakan ekonomi.
Adam Smith mengkategorikan tembakau sebagai barang mewah, yang berarti barang yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan pokok, tapi dikonsumsi secara luas.
David Ricardo kemudian memperluas teori Adam Smith tentang perpajakan dalam bukunya Principles of Political Economy dan Taxation tahun 1817 yang menjelaskan bahwa pajak barang mewah memiliki beberapa keuntungan atas pajak barang kebutuhan pokok karena tidak meningkatkan tingkat upah dan mengurangi keuntungan produsen.
Ricardo juga berpendapat bahwa konsumen akhirnya tetap akan memiliki “batas pajak” atas pengenaan cukai pada komoditas tertentu yang terus meningkat.
Setelah batas pajak tercapai, konsumen akan berhenti atau mengurangi pembeliannya, bukan karena ia tidak bisa lagi membelinya, tapi karena ia harus membayar harga yang lebih tinggi daripada yang menurutnya layak.
Dengan demikian, Ricardo mencapai kesimpulan penting bahwa konsumen akan mencapai batas tertentu atas pengeluaran yang mereka bersedia bayarkan pada item apa pun, terlepas dari berapa banyak kenikmatan yang mereka peroleh darinya.
Dalam Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control, Bank Dunia menyimpulkan 3 strategi untuk mengurangi konsumsi tembakau sebagai berikut:
(1) Meningkatkan pajak terhadap tembakau secara komprehensif, agar konsumsi tembakau menjadi jauh berkurang;
(2) Menerbitkan dan menyebarluaskan hasil-hasil penelitian tentang efek tembakau pada kesehatan, menambahkan label peringatan keras pada rokok, melarang iklan dan promosi (rokok) secara menyeluruh, dan membatasi kegiatan merokok di tempat-tempat kerja atau tempat tempat umum; dan
(3) Memperluas akses pada pengganti nikotin (NRT) dan terapi-terapi penyembuhan ketagihan yang lain.
Berdasarkan ketiga strategi tersebut, sampai saat ini pemerintah Indonesia sudah mengupayakan dua strategi, yaitu peningkatan pajak dan penyebarluasan mengenai bahaya rokok serta pembatasan iklan rokok.
Tahun depan, kenaikan cukai rokok yang mencapai 23 persen akan menaikkan harga eceran rokok sebesar 35 persen, dan tidak hanya itu, kenaikan cukai ini – seperti dalam rekomendasi Bank Dunia – akan naik sebesar 10 persen tiap tahunnya. Dengan kata lain, hanya menunggu waktu sampai masyarakat tidak mampu lagi untuk membeli rokok.
Imbas dari hal tersebut, tentunya adalah akan terdapat kebutuhan untuk melakukan terapi berhenti merokok. Hal ini ditempuh agar terlepas dari pengaruh nikotin rokok yang tidak mampu lagi atau enggan dibeli konsumen.
Mengingat besarnya konsumen rokok di Indonesia, ini akan menjadi peluang pasar yang menjanjikan bagi perusahaan farmasi yang menyediakan obat berhenti merokok.
Yang lebih menarik lagi adalah PT Pfizer, yang merupakan perusahaan farmasi asal Amerika Serikat ternyata telah menjual obat berhenti merokok di Indonesia sejak tahun 2007.
Sudah adanya Pfizer tentu semakin meningkatkan spekulasi bahwa Indonesia akan berlanjut ke strategi ketiga dari Bank Dunia, yakni penerapan NRT ataupun terapi-terapi pengganti nikotin lainnya.
Akan tetapi, pertanyaannya adalah apakah pemerintah akan mengambil risiko sengketa dengan industri rokok yang merupakan penyumbang cukai terbesar? Apalagi industri rokok merupakan penyerap banyak tenaga kerja dan merupakan tumpuan ekonomi bagi para petani tembakau.
Dengan kata lain, untuk sampai pada strategi ketiga, Indonesia harus menjawab mengenai pengganti income cukai dari rokok, menjawab nasib para pekerja industri rokok serta para petani tembakau. Tidak hanya itu, Indonesia juga akan mendapatkan tekanan dari Bank Dunia, IMF, dan WHO terkait komitmen menurunkan konsumsi rokok.
Mengenai hal tersebut, tentu merupakan hal yang menarik untuk dilihat keberlanjutannya. Sejauh ini dugaan keuntungan yang akan didapatkan oleh industri farmasi di Indonesia memang belum begitu terlihat, sekalipun hal tersebut bisa saja terjadi dalam tahun-tahun ke depan. (R53)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.
[related_posts_by_tax posts_per_page="7" taxonomies="category,post_tag" order="ASC"]Kesehatan - Terkini - Google Berita
September 25, 2019 at 12:27PM
https://ift.tt/2n6tm59
Geliat Farmasi di Balik Cukai Rokok - PinterPolitik
Kesehatan - Terkini - Google Berita
https://ift.tt/2zZ7Xy3
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Geliat Farmasi di Balik Cukai Rokok - PinterPolitik"
Post a Comment