KOMPAS.com - Lebih dari 900 orang meninggal dunia akibat virus corona jenis baru yang awalnya mewabah dari Wuhan, Provinsi Hubei, China.
Akan tetapi, selama jumlah infeksi ini meningkat, informasi tentang kondisi di China terbatas.
Awalnya, media dan berita dalam negeri China dapat melaporkan epidemi ini secara detail. Beberapa hari terakhir, sejumlah artikel yang tersedia di internet dikabarkan telah ditarik.
Artikel-artikel ini di antaranya yang bermuatan kritik terkait upaya pemerintah untuk mengatasi penyebaran virus ini.
Di antara banyak kisah penanganan virus corona, ada beberapa cerita tentang perjuangan para tenaga medis membantu para pasien yang terinfeksi.
Ada yang harus meninggalkan keluarganya sekian lama, ada pula yang akhirnya terinfeksi saat kondisinya tengah hamil.
Baca juga: Update Terbaru Virus Corona: Lebih dari 900 Orang Meninggal Dunia, 40.000 Orang Terinfeksi
Kisah relawan perawat
Sebuah kisah datang dari salah seorang perawat di Hubei, provinsi di mana wabah ini menjadi pusat penyebaran.
Untuk melindungi identitasnya, ia meminta dipanggil menggunakan nama keluarganya, Yao.
Melansir BBC, Yao bekerja di sebuah rumah sakit di kota terbesar kedua Hubei, Xiangyang. Ia menggambarkan bekerja di sebuah bagian yang disebut sebagai "klinik demam".
Di sana, Yao menganalisis sampel darah yang diambil untuk mendiagnosis siapa pun yang diduga terdeteksi virus corona.
Sebelum corona mewabah, Yao telah berencana untuk pergi ke Guangzhou dan menghabiskan tahun baru Imlek bersama keluarganya.
Anak dan ibunya telah pergi terlebih dahulu. Namun, ketika terjadi epidemi, Yao memutuskan untuk menjadi relawan di Xiangyang.
"Memang benar bahwa kami semua hidup dalam satu kehidupan, tetapi ada sebuah suara kuat di dalam diri saya yang mengatakan, 'Kamu harus pergi'," ungkap Yao sebagaimana dikutip BBC.
Awalnya, Yao harus mengatasi keraguannya akan keputusan ini.
"Saya mengatakan kepada diri saya sendiri, 'Bersiaplah dan lindungi dirimu dengan baik'. Meskipun tidak ada baju pelindung, saya harus selalu memakai mantel. Jika tidak ada masker, saya dapat meminta teman-teman di seluruh China untuk mengirimkannya. Pasti selalu ada jalan," ungkap Yao.
Baca juga: Terus Mewabah, Menimbang Risiko dan Kerugian akibat Virus Corona Wuhan
Tantangan para tenaga medis
Kisah-kisah lain juga datang dari tenaga medis lain di Wuhan.
Melansir Business Insider, dokter-dokter dan para pekerja medis merasakan dampak paling besar dari korban virus corona Wuhan yang terus bertambah.
Dokter-dokter di Wuhan yang telah ditempatkan di bawah karantina pada tanggal 24 Januari lalu dihadapkan dengan lebih banyak pasien daripada yang dapat mereka tangani.
Salah satu dokter mengatakan bahwa rumah sakit-rumah sakit telah dibanjiri pasien.
"Ada yang sampai ribuan. Saya belum pernah melihat jumlah pasien sebanyak ini sebelumnya," ungkap dokter tersebut, sebagaimana dikutip Business Insider.
Staf-staf medis yang sudah ada di Wuhan disebut mengalami kewalahan. Untuk itu, para relawan pun berdatangan untuk memberikan bantuan di Wuhan.
Volunteer medical personnel from around China are parting with their families to leave for #Wuhan to combat #CoronavirusOutbreak just before the #LunarNewYear. A very special "holiday" indeed. pic.twitter.com/ShJBPaz1uB
— LIU Xin (@thepointwithlx) January 24, 2020
Selain dokter dan tenaga medis, rumah sakit-rumah sakit juga kekurangan persediaan peralatan.
Kekurangan peralatan ini termasuk alat pelindung bagi para tenaga medis.
"Banyak yang awalnya tidak tahu-menahu tentang potensi penularan antar-manusia dan bahkan saat ini, kami tidak memiliki alat pelindung yang cukup," kata salah satu dokter Wuhan, sebagaimana dikutip South China Morning Post (SCMP).
Sebagian tenaga medis juga dikabarkan mengalami stres dengan kondisi yang ada.
Seorang dokter dikabarkan menelepon penyelia atas pekerjaannya ini.
"Saya tidak mau melakukan pekerjaan ini lagi. Pecat saya! Tendang saya keluar, kirim saya pulang ke rumah," kata dokter tesebut.
??????????? pic.twitter.com/rcl7GN6yOG
— ???? (@tianlanm) January 23, 2020
Pemberitaan Washington Post menyebutkan, para tenaga medis harus memakai diaper dewasa karena memiliki waktu yang sangat sedikit untuk pergi ke kamar mandi.
Selain itu, mereka harus menjaga hazmat suit yang dipakai agar tidak robek dan rusak.
Tangan para petugas medis pun terus diberi disinfektan dan garis-garis dari masker wajah yang terus dikenakannya membekas hingga kulit wajah mereka.
Faces of China in 2020:
— Tong Bingxue ??? (@tongbingxue) February 5, 2020
Marks of Masks
Doctors and nurses who are combating #Wuhan Coronavirus in Changsha, capital of Hunan Province of south China.
Courtesy of Weibo Changsha Fabu. pic.twitter.com/o7EpH3Vupq
Cerita pedih lain juga datang dari seorang perawat yang tengah mengandung selama tujuh bulan.
Dalam "peperangan" terhadap virus corona ini, akhirnya perawat tersebut pun turut terinfeksi.
Kisah-kisah ini masih terus berdatangan dalam upaya memerangi virus corona jenis baru ini.
Terbaru, dokter yang memperingatkan adanya wabah virus corona sebelumnya, Li Weinlang, pun meninggal setelah terkena virus tersebut saat merawat pasien di Wuhan selama beberapa minggu.
Kepergiannya menjadi kehilangan besar karena upaya yang dilakukannya untuk meningkatkan kesadaran akan virus sebelum ia dihukum karena disebut menciptakan kekhawatiran publik.
Infografik: Mitos dan Fakta SoalKesehatan - Terbaru - Google Berita
February 10, 2020 at 02:06PM
https://ift.tt/37f2f9p
Kisah Para Tenaga Medis di Wuhan: Pakai Diaper, Meninggalkan Keluarga, hingga Terinfeksi Saat Hamil - Kompas.com - KOMPAS.com
Kesehatan - Terbaru - Google Berita
https://ift.tt/2zZ7Xy3
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Para Tenaga Medis di Wuhan: Pakai Diaper, Meninggalkan Keluarga, hingga Terinfeksi Saat Hamil - Kompas.com - KOMPAS.com"
Post a Comment